Dunia anak ialah dunia bermain. Anak yang berlajar sambil bermain dengan bimbingan orang renta atau orang remaja yang dikenalkannya akan pertanda antusiasme belajar. Sebaliknya, anak yang memperoleh pembelajaran keaksaraan yang melebihi kapasitasnya akan mengalami ketegangan penurunan semangat belajar.
Inilah sebuah kenyataan wacana mencar ilmu keaksaraan pada anak usia dini. Di satu sisi, secara teoritis, anak dilarang dipaksakan untuk mencar ilmu keaksaraan. Sementara di sisi lain, balajar keaksaraan identik dengan memenuhi impian orang renta untuk memperlihatkan paspor bagi anak sebelum memasuki tahun-tahun pertama pengalaman belajarnya pada lingkup pendidikan dasar.
Pandangan wacana dilarang memaksakan anak usia dini mencar ilmu keaksaraan menyerupai layaknya anak yang lebih renta usianya sanggup dilihat pada dokumen Pusat Kurikulum Balitbang (2007). Dokumen ini mengungkapkan bahwa wacana yang dipergunakan untuk keaksaraan bagi anak usia dini satu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pra-membaca, misalnya mulai pertanda ketertarikan dengan buku/media cetak lainnya (pra-membaca). Hal ini ditandai dengan mengeksplorasi buku atau media cetak lainnya yang mempunyai gambar dan warna yang menarik. Meskipun demikian, masih harus didiskusikan apakah tindakan anak usia dini memasukan buku ke dalam lisan atau memukul-mukul merupakan indikator pra-membaca atau semata-mata naluri anak tersebut. Pada usia 1-2 diperoleh citra sebagai berikut:
Untuk anak usia 1-2 tahun jauh lebih sanggup dipahami, menyerupai mulai tertarik isi buku dan media cetak lainnya dengan cara menanyakan atau akal-akalan menulis. Selanjutnya sanggup dilihat pula standar untuk usia 2-3 tahun:
Seperti halnya membaca untuk anak usia 1-2 tahun diwacanakan pra-membaca, Demikian pula menulis dikenal dengan pramenulis dan indikator keduanya antara lain meminta tolong kepada orang remaja untuk menuliskan kisah gambar yang dibuatnya serta menghasilkan garis-garis dengan alat tulis. Masalah, perkiraan permikiran tersebut ditujukan pada masyarakat yang melek baca tulis namun belum mempertimbangkan latar belakang komunitas yang sama sekali orang renta dan belum bisa membaca dan menulis.
Berikut standar untuk anak usai 3-4 tahun diperoleh citra sebagai berikut :
Dari semua tahapan yang ditetapkan, kosa kata yang dipergunakan sekali lagu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pramembaca dan pramenulis; walaupun terdapat perbedaan yang fundamental antar konsep keaksaraan menyerupai yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dengan pengamatan andal bahasa di negara yang sudah maju.
Pada umumnya masyarakat awam menganggap cukup bila anak diberikan pengetahuan yang bekerjasama dengan baca tulis hitung pada awal perkembangan kehidupannya. Anggapan menyerupai ini menciptakan anak tidak mempunyai perkembangan diri yang seimbang, atau secara teoris diberikan beban yang berlebih pada otak kiri dan tidak lagi diberikan perhatian pad otak kanannnya, bahkan keduanya tidak berjalan secara seimbang. Sehubungan dengan itu Gardener menganggap keseimbangan itu dalam satu kesatuan utuh, berimbang dan proporsional sesuai kecakapan intelektual.
Kenyataannya pada anak kalau pembelajaran lebih banyak mengikuti ambisi orang renta dari pada memasuki dunia anak dan ritme yang ada pada anak sendiri akan merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan kemampuan seseorang. Resiko yang sama juga terjadi bila kebiasaan dipaksakan untuk mengikuti bahasa tutur dan mengabaikan kemampuan untuk membaca bahasa tulisan.
Menurut teorinya, pengetahuan dan kecakapan kebahasaan merupakan potongan utama dalam kecakapan intelektual sebab fungsi yang strategis dalam komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat relasi sistemik antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berkompetisi dari anak tersebut (Natioan Research Council, 1998). Hampir semua permasalahan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan komunikasi dan menjadi persyaratan utama dalam kehidupan modern untuk berekspresi dan bahkan survive dalam kehidupan.
Shonkoff (2000) menekankan kembali bahwa anak dilahirkan ke dunia dibekali dengan kemampuan untuk belajar. Pada lima tahun pertama, pertumbuhan mereka luar biasa terutama dalam kemampuan linguistik, konseptual, sosial, emosional, dan kompetensi motoriknya. Sejaka masa kelahiran seorang anak yang sehat tumbuh menjadi seorang partisipant yang aktif, dibekali dengan kemampuan jelajah lingkungan, mencar ilmu untuk berkomunikasi dan sehabis sedikit mengikuti pertumbuhannya berkembang dengan kemampuan mengkonstruk wangsit dan teori wacana benda dan lingkungan sekitarnya.
Oleh Karena itu perlu kiranya dilakukan stimulus yang responsif terhadap perkembangan keaksaraan anak, untuk membuatkan kemampuan keaksaraan anak sesuai dengan tahapan dan tumbuh kembangnya. Mengembangkan keaksaraan seharusnya dilakukan dengan memperhatikan faktor kemampuan bawaan anak semenjak lahir, biar pertumbuhan anak semakin luar biasa, terutama pada lima tahun pertama.
Sumber: Dirangkum dan disarikan dari aneka macam sumber!!
Inilah sebuah kenyataan wacana mencar ilmu keaksaraan pada anak usia dini. Di satu sisi, secara teoritis, anak dilarang dipaksakan untuk mencar ilmu keaksaraan. Sementara di sisi lain, balajar keaksaraan identik dengan memenuhi impian orang renta untuk memperlihatkan paspor bagi anak sebelum memasuki tahun-tahun pertama pengalaman belajarnya pada lingkup pendidikan dasar.
Pandangan wacana dilarang memaksakan anak usia dini mencar ilmu keaksaraan menyerupai layaknya anak yang lebih renta usianya sanggup dilihat pada dokumen Pusat Kurikulum Balitbang (2007). Dokumen ini mengungkapkan bahwa wacana yang dipergunakan untuk keaksaraan bagi anak usia dini satu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pra-membaca, misalnya mulai pertanda ketertarikan dengan buku/media cetak lainnya (pra-membaca). Hal ini ditandai dengan mengeksplorasi buku atau media cetak lainnya yang mempunyai gambar dan warna yang menarik. Meskipun demikian, masih harus didiskusikan apakah tindakan anak usia dini memasukan buku ke dalam lisan atau memukul-mukul merupakan indikator pra-membaca atau semata-mata naluri anak tersebut. Pada usia 1-2 diperoleh citra sebagai berikut:
Untuk anak usia 1-2 tahun jauh lebih sanggup dipahami, menyerupai mulai tertarik isi buku dan media cetak lainnya dengan cara menanyakan atau akal-akalan menulis. Selanjutnya sanggup dilihat pula standar untuk usia 2-3 tahun:
Seperti halnya membaca untuk anak usia 1-2 tahun diwacanakan pra-membaca, Demikian pula menulis dikenal dengan pramenulis dan indikator keduanya antara lain meminta tolong kepada orang remaja untuk menuliskan kisah gambar yang dibuatnya serta menghasilkan garis-garis dengan alat tulis. Masalah, perkiraan permikiran tersebut ditujukan pada masyarakat yang melek baca tulis namun belum mempertimbangkan latar belakang komunitas yang sama sekali orang renta dan belum bisa membaca dan menulis.
Berikut standar untuk anak usai 3-4 tahun diperoleh citra sebagai berikut :
Dari semua tahapan yang ditetapkan, kosa kata yang dipergunakan sekali lagu bukan membaca dan menulis, akan tetapi pramembaca dan pramenulis; walaupun terdapat perbedaan yang fundamental antar konsep keaksaraan menyerupai yang ditetapkan oleh Pusat Kurikulum dengan pengamatan andal bahasa di negara yang sudah maju.
Pada umumnya masyarakat awam menganggap cukup bila anak diberikan pengetahuan yang bekerjasama dengan baca tulis hitung pada awal perkembangan kehidupannya. Anggapan menyerupai ini menciptakan anak tidak mempunyai perkembangan diri yang seimbang, atau secara teoris diberikan beban yang berlebih pada otak kiri dan tidak lagi diberikan perhatian pad otak kanannnya, bahkan keduanya tidak berjalan secara seimbang. Sehubungan dengan itu Gardener menganggap keseimbangan itu dalam satu kesatuan utuh, berimbang dan proporsional sesuai kecakapan intelektual.
Kenyataannya pada anak kalau pembelajaran lebih banyak mengikuti ambisi orang renta dari pada memasuki dunia anak dan ritme yang ada pada anak sendiri akan merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan kemampuan seseorang. Resiko yang sama juga terjadi bila kebiasaan dipaksakan untuk mengikuti bahasa tutur dan mengabaikan kemampuan untuk membaca bahasa tulisan.
Menurut teorinya, pengetahuan dan kecakapan kebahasaan merupakan potongan utama dalam kecakapan intelektual sebab fungsi yang strategis dalam komunikasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat relasi sistemik antara kemampuan berbahasa dengan kemampuan berkompetisi dari anak tersebut (Natioan Research Council, 1998). Hampir semua permasalahan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan komunikasi dan menjadi persyaratan utama dalam kehidupan modern untuk berekspresi dan bahkan survive dalam kehidupan.
Shonkoff (2000) menekankan kembali bahwa anak dilahirkan ke dunia dibekali dengan kemampuan untuk belajar. Pada lima tahun pertama, pertumbuhan mereka luar biasa terutama dalam kemampuan linguistik, konseptual, sosial, emosional, dan kompetensi motoriknya. Sejaka masa kelahiran seorang anak yang sehat tumbuh menjadi seorang partisipant yang aktif, dibekali dengan kemampuan jelajah lingkungan, mencar ilmu untuk berkomunikasi dan sehabis sedikit mengikuti pertumbuhannya berkembang dengan kemampuan mengkonstruk wangsit dan teori wacana benda dan lingkungan sekitarnya.
Oleh Karena itu perlu kiranya dilakukan stimulus yang responsif terhadap perkembangan keaksaraan anak, untuk membuatkan kemampuan keaksaraan anak sesuai dengan tahapan dan tumbuh kembangnya. Mengembangkan keaksaraan seharusnya dilakukan dengan memperhatikan faktor kemampuan bawaan anak semenjak lahir, biar pertumbuhan anak semakin luar biasa, terutama pada lima tahun pertama.
Sumber: Dirangkum dan disarikan dari aneka macam sumber!!
0 Response to "Mengembangkan Keaksaraan Yang Sesuai Dengan Ritme Anak"
Posting Komentar